Thursday, June 30, 2011

Review : The Count of Monte Cristo


Life is a storm, my young friend. You will bask in the sunlight one moment, be shattered on the rocks the next. What makes you a man is what you do when that storm comes. You must look into that storm and shout as you did in Rome. Do your worst, for I will do mine! Then the fates will know you as we know you: as Albert Mondego, the man! ~ Edmond

 
Marseilles, sebuah Kota pelabuhan di wilayah selatan Perancis baru saja kedatangan kapal Pharaon dibawah komando seorang pemuda yang bertugas sebagai kelasi pertama. Ia adalah Edmond Dantes, seorang pemuda yang jujur, berhati murni dan bersemangat. Setelah kematian kaptennya, Dantes diangkat menjadi kapten atas Pharaon. Ia sangat bahagia. Ia akan menjadi kapten dan ia akan segera bertemu ayah dan kekasihnya. Dantes memiliki seorang kekasih yang bernama Mercedes, seorang gadis cantik yang setia menunggunya. Lengkaplah sudah kebahagiaan Dantes ketika Mercedes bersedia menikah dengannya. Saat Dantes dihujani berkat, tanpa sepengetahuannya, musuh pun mendekat. Adalah dua orang yang terbakar kecemburuan melihat kebahagiaan Dantes. Seorang kepala keuangan kapal Pharaon, Danglars, tidak ingin Dantes menjadi kapten atas Pharaon, sedangkan seorang nelayan, Fernand, putus asa ketika melihat wanita yang dicintainya justru mencintai Dantes. Kebencian terhadap Dantes, membawa Danglars dan Fernand bersekongkol untuk menghancurkan Dantes. Disaksikan oleh Caderousse, seorang tetangga yang sudah dianggap sahabat oleh Dantes, maka rencana jahat untuk Dantes pun dimulai.

Dilatarbelakangi oleh sejarah perancis, Alexandre Dumas menyuguhkan kisah tragis kehidupan seorang pelaut Edmond Dantes yang kebahagiaannya direnggut diusia yang masih sangat muda. Dantes nyaris mengecap kebahagiaan diusia 19 tahun, namun hidup menuntutnya menjadi kuat untuk bisa menikmatinya. Dantes tidak memiliki kapasitas untuk waspada dan menduga pengkhianatan temannya, sehingga ia tidak mampu untuk membela diri. Inilah cap karakter kehidupan. Jika anda tidak cukup kuat dan waspada untuk hidup, maka dunia kapan saja bisa menggilas anda. Namun Dantes  membuat setiap musuhnya menuai akibat dari perbuatan mereka masing-masing. Ini adalah kisah tentang cinta, pengkhianatan, persahabatan, ketulusan, dan seni balas dendam yang awesome.

Novel ini dirangkai dengan menarik lewat scene yang terpisah-pisah. Pembaca akan dibawa untuk menyaksikan sebuah peristiwa yang sedang terjadi di Roma, kemudian tiba-tiba alur cerita telah melompat kembali ke Paris. Dumas bahkan menceritakan setiap tokoh secara terpisah. Jangan bingung!! Tunggulah!! Karena bagian yang paling menarik adalah ketika Dumas menarik benang merah untuk menghubungkan setiap scene dan tokoh sehingga novel ini menjadi kisah utuh yang sangat menarik untuk dipahami. Saya sangat menikmati cara penuturan seperti ini. Saya menunggu untuk paham.

Novel yang pertama kali diterbitkan sekitar tahun 1844-1846 ini pun tidak lupa diberi sentuhan eksotis. Gambaran eksotis muncul lewat berbagai lukisan, karnaval, roma ataupun paris, bahkan oleh gambaran karakter tokoh seperti Haydée dengan kecantikan dan misteri yang khas. Novel ini pun memiliki latar kota Marseilles. Sebuah kota yang berada di wilayah selatan perancis dan merupakan kota kedua terbesar di perancis (setelah Paris) yang juga adalah salah satu kota tujuan wisatawan. Bahkan ketika saya bertanya kepada paman google untuk mencari bagian-bagian yang mungkin nyata dari kisah Dumas ini, saya menemukan banyak hal yang membuat kecintaan terhadap perancis semakin bertambah.


Avenue des Champs-Élysées. Jalan luas di Paris yang merupakan salah satu jalan paling terkenal di dunia dan lokasi real estat termahal kedua di dunia setelah fifth Avenue New York. (ini adalah lokasi rumah Count of Monte Cristo di dalam novel)
Chateau d’If. Sebuah benteng yang belakangan berfungsi sebagai penjara yang terletak di pulau If sekitar satu mil dari teluk Marseille.


Salon. Kata ini sering muncul di dalam novel karya Dumas ini. Ternyata Salon adalah sebuah ruang terbuka untuk menerima tamu.
 
Dumas mendapatkan ide jenius pembalasan dendam Count of Monte Cristo dari sebuah kisah yang ditemukannya dalam sebuah buku yang ditulis oleh Jacques Peuchet tahun 1938 tentang seorang pembuat sepatu yang bernama Pierre Picaud yang juga oleh kecemburuan tiga orang temannya dituduh sebagai mata-mata inggris. Beberapa bagian serupa dengan kisah Picaud, namun untuk endingnya Dumas memilih akhir cerita yang berbeda. 

Saya masih penasaran dengan model cover terbitan bentang ini. Saya sudah sempat bertanya di group bentang, namun belum ada jawaban sampai dengan hari review ini terbit. Awal membaca novel terjemahan bentang ini, membuat saya agak pesimis karena melihat font yang begitu kecil sementara buku ini cukup tebal. Terkadang, saya merasa sudah jauh membaca, namun baru maju lima halaman, tetapi karena Dumas menyajikan kisah yang sangat menarik maka saya bisa menyelesaikannya dalam waktu enam hari (*lama yaaa...). Novel ini pun sudah banyak di adopsi ke layar lebar. Anda bahkan bisa nonton online atau download film-filmnya di ==> Film Count of Monte Cristo

-------------------------------------------
Judul : The Count of Monte Cristo
Penulis : Alexandre Dumas
Penerbit : Bentang Pustaka
Terbit : Maret 2011
Tebal : 568 hal
-------------------------------------------

Review : Prophecy of the Sisters


Ada yang pernah mendengar mitologi tentang Samael? Samael sering muncul dalam mitologi dari daerah palestina kuno atau banyak mitologi lainnya dengan nama yang berbeda-beda. Samael disebut sebagai malaikat kematian. Dalam mitologi yang diceritakan turun temurun, konon Samael disebut sebagai malaikat yang baik sekaligus jahat. Nama Samael berarti “Poison of God”. Dalam kisah ini, Samael adalah malaikat yang dirayu oleh seorang perempuan bernama Maari (salah satu dari dua saudari). Samael berjanji kepada Maari : Jika Maari bisa melahirkan seorang malaikat maka kepadanya akan diberikan semua pengetahuan yang terlarang. Malaikat-malaikat yang terlahir itu menikahi wanita-wanita manusia dan akhirnya diusir dan dipaksa mengembara ke delapan dunia lain sampai waktu kiamat tiba. Malaikat-malaikat itu dan Samael menjadi roh yang tersesat. Konon, satu-satunya cara untuk kembali ke dunia fisik adalah melalui dua saudari. Dua saudari ini – kembar, berperan sebagai garda dan gerbang. Gerbang adalah saudari yang akan menjadi pintu untuk kembalinya para roh tersesat sementara garda sebagai pelindung harusnya mencegah hal itu dan menolong saudarinya. Konon, para roh tersesat juga harus menunggu panggilan dari sang malaikat pembawa kunci untuk bisa kembali ke dunia fisik melalui sang gerbang. Dan ketika para roh tersesat berhasil masuk ke dunia fisik lewat sang gerbang, maka murka Tuhan akan terjadi atau biasanya kita sebut kiamat.

Lia dan Alice Milthorpe adalah saudari kembar yang baru saja ditinggalkan oleh sang ayah. Tak lama berselang setelah kematian ayah mereka, berbagai perubahan mulai terjadi dalam hidup mereka. Sikap Alice semakin berubah, ia menjadi lebih dingin dan terkadang menakutkan. Sementara sebuah lingkaran hitam muncul di pergelangan tangan Lia. Lingkaran itu semakin lama semakin tampak jelas hingga membentuk seekor ular yang melingkar memakan ekornya sendiri. Jorgumand

Jorgumand
 
Melalui seorang pria yang dulunya bekerja dengan ayahnya dan yang juga disukainya, Lia menemukan sebuah buku tua tentang ramalam garda dan gerbang. Lia juga bertemu dengan dua orang yang juga memiliki tanda di pergelangan tangan yang mirip : Luisa, teman sekolahnya dan seorang cenayang bernama Sonia. Bersama Luisa dan Sonia mereka berusaha memahami arti ramalan itu dan menyimpulkan bahwa Lia adalah sang garda karena ia memiliki semua kebaikan untuk menjadi seorang pelindung. Lia memang memiliki karakter yang lembut dan peduli. Namun, suatu hari bibinya menceritakan kepadanya, bahwa dari dua orang saudari, sang kakaklah yang akan berperan sebagai gerbang. Betapa terkejutnya Lia karena mendapati dirinya mengemban tugas yang tidak diinginkannya, apalagi ia tahu bahwa Alice tidak ingin menjadi garda, namun lebih memilih membantu para roh tersesat kembali ke dunia fisik. Keterkejutannya bertambah ketika ia tahu bahwa dia juga adalah malaikat pembawa kunci. Nah...tugas sang gerbang dan malaikat pembawa kunci menyatu dalam diri Lia. Berbagai kecemasan dan hal-hal baru mulai dipertanyakannya. Bagaimana jika ia tidak bisa mengendalikan diri dan justru membuka pintu bagi Samael? Bagaimana jika Alice terus mendesaknya untuk memanggil Samael? Bagaimana ia harus menjalankan perannya? Apa yang harus ia lakukan agar dunia tetap aman dan murka Tuhan tidak terjadi?

Bersama dengan Luisa dan Sonia, Lia mengungkap arti ramalan itu perlahan-lahan. Bahkan seorang manusia yang dianggap jahat pun punya pilihan untuk tidak bersikap jahat. Itulah yang dilakukan oleh Lia dan dengan bantuan teman-temannya, ia berusaha menemukan cara untuk berbuat yang terbaik. Kisah imajinasi Michelle Zink ini mengalir dengan sangat cepat. Novel ini bernuansa agak gelap dan terkesan menakutkan. Ketika membaca, saya berusaha untuk menyesuaikan dengan suasana yang muncul dan berhubung saya tidak suka dengan cerita horor (walau novel ini bukan tentang cerita hantu) maka saya berusaha agar cepat menyelesaikannya. Seorang teman menyarankan untuk membaca kisah ini di siang hari, namun karena penasaran saya terus membaca sampai larut malam dan alhasil saya ketakutan di bagian-bagian tertentu. Namun saya tentu saja masih sangat penasaran dengan kelanjutan kisah ini.

Cover pilihan matahati ini tidak sesuram cover aslinya. Jika melihat isinya, saya justru lebih suka dengan cover asli karena cocok dengan isi ceritanya. Sepertinya hanya itu saja yang bisa saya bagikan mengenai buku ini. Yang pasti untuk para pecinta fiksi fantasi, ini adalah buku wajib baca karena anda akan benar-benar berfantasi. Bagian yang paling saya sukai adalah fantasi mengembara ke dunia roh. Sepertinya cukup menantang untuk dicoba andaikan bisa...hehehehe. 

-------------------------------------------------
Judul : Prophecy of the sisters
Penulis : Michelle Zink
Penerbit : Matahati
Terbit : Maret 2011
Tebal : 359 hal 
--------------------------- ----------------------

Friday, June 24, 2011

Review : The Old Man and the Sea (Lelaki tua dan laut)

Lelaki tua dan laut menceritakan kehidupan seorang nelayan tua asal kuba yang bernama Santiago. Membaca kisah yang pernah memenangkan penghargaan Pulitzer Prize tahun 1953 ini mengingatkan saya pada  sebuah cerpen Hemingway yang berjudul “a day’s wait”. Sama seperti cerpen itu, kisah Lelaki Tua dan Laut ini pun menggali sisi kemanusiaan seseorang. Kemanusiaan yang saya maksud bukan dalam hubungannya dengan orang lain, namun lebih tepatnya keberadaan seseorang sebagai manusia yang melihat kedalam hidupnya sendiri.

Setelah mencoba dan gagal menangkap ikan selama 84 hari, Santiago tidak putus asa. Bahkan setelah satu-satunya teman berlayarnya, Manolin, meninggalkannya sendirian atas permintaan orang tuanya, Santiago tetap berangkat disaat hari masih gelap, mengembangkan layarnya dan mengarungi lautan. Hari itu adalah hari ke-85 untuk Santiago, ia berharap bisa menangkap seekor ikan marlin raksasa di hari itu. Ia hanya membawa beberapa botol air tanpa makanan, karena ia akan pulang saat matahari terbenam dan baginya satu hari ditemani beberapa botol air sudah cukup. Setelah memasang semua umpan pada mata kail dan melemparkannya, Santiago menunggu setiap tarikan yang akan membawanya pada seekor ikan. Ia menunggu dan terus menunggu. Sambil menunggu, ia terus berbincang dengan dirinya sendiri, mengungkapkan pikiran-pikirannya dan berdiam diri disaat yang diinginkannya. Tiba-tiba ia merasakan sebuah tarikan pada kailnya. Ia menyadari seekor ikan yang sangat besar sedang bermain-main dengan umpannya. Ia menunggu saat-saat yang tepat ketika ikan itu lengah. Tanpa terasa matahari sudah terbenam, ikan itu terus menarik-narik mata kailnya dan membuat perahu Santiago meninggalkan daratan lebih jauh. Santiago menyadari hal itu, namun ia tidak bisa berbuat apa-apa, ia hanya bisa menunggu sampai ikannya lengah dan ia bisa membunuhnya apalagi setelah ia tahu bahwa ia sedang bermain dengan seekor ikan yang sangat besar, saking besarnya sampai tidak akan cukup untuk ditampung di dalam perahu layarnya. Kegagalan Santiago selama 84 hari sebelumnya membuatnya bisa bersabar, walaupun perutnya mulai kelaparan dan ia menyadari telah meninggalkan daratan beberapa hari, namun ia terus memberi semangat dirinya sendiri.

Kisah Santiago adalah cerminan perjuangan seorang manusia. Apapun profesi anda, kisah nelayan ini akan membuat anda berkaca. Jangan menyepelekan Santiago karena ia hanya seorang nelayan, karena nelayan pun harus menghadapi badai dan gelombang bukan? Santiago tidak menyerah, bahkan ketika ia mulai kehabisan tenaga, tangan dan punggungnya mulai terluka, ia tidak mau kalah.

“Tapi manusia tidak diciptakan untuk ditaklukan”, ujarnya. “Manusia bisa dihancurkan, tapi tak bisa ditaklukan.” [h.113]

Selain perjuangan Santiago, Hemingway juga ingin menampilkan sisi persahabatan di dalam novel ini. Persahabatan yang ditawarkan oleh Manolin, akan membawa senyuman kagum di wajah saya, setiap kali Manolin melakukan sesuatu untuk Santiago. Hal kedua inilah yang juga dibutuhkan manusia dalam hidup. Manusia bisa terus berjuang untuk hidupnya, namun manusia itu sendiri membutuhkan orang lain sebagai sahabat.

Novel yang mengantarkan Hemingway meraih penghargaan bergengsi hadiah Nobel Sastra 1954 ini  ditulisnya ketika ia tinggal di Kuba. 
Hemingway dan ikan marlin tangkapannya
Mengenai cover, menurut saya karikaturnya istimewa. Saya suka dengan tampilan cover yang sederhana ini. Bahkan dengan melihat karikatur sang nelayan, saya bisa melihat wajah tua renta yang telah lama ditempa angin dan badai laut, namun di wajah yang sama pun saya melihat kekuatan dan kebanggaan hidup yang begitu mengagumkan.

Mengutip penekanan Hemingway lewat Wikipedia :

"No good book has ever been written that has in it symbols arrived at beforehand and stuck in. ... I tried to make a real old man, a real boy, a real sea and a real fish and real sharks. But if I made them good and true enough they would mean many things"
-------------------------------------------------------------- 
Judul : The old man and the sea (Lelaki tua dan laut)
Penulis : Ernest Hemingway
Penerbit : Serambi
Terbit : November 2009 (Cetakaan III)
Tebal : 145 hal
---------------------------------------------------------------

Thursday, June 16, 2011

Review : Saga no Gabai Bachan (Nenek Hebat dari Saga)


Kisah di dalam buku ini mengingatkan saya pada tahun-tahun masa kecil di kampung halaman. Saya bisa memahami setiap rasa syukur Tokunaga ketika menjumpai camilan gratis dari setiap pohon yang berbuah atau mainan yang tersedia di alam. Saya juga bisa memahami kesedihan dan dilema yang muncul ketika harus meninggalkan kampung halaman untuk menggapai sesuatu yang lebih baik. Buku ini memang mendatangkan kebahagiaan. Mari kita lihat bersama sedikit kisah dari saga.

Pada usia yang sangat muda, kelas dua sekolah dasar, hidup Akihiro Tokunaga perlahan-lahan berubah. Saat ayahnya meninggal akibat pengaruh bom Hiroshima, Tokunaga tinggal bersama ibunya. Kehidupan Hiroshima di masa-masa pemulihan itu membuat sang ibu mendorong Tokunaga menjauh dari kota itu. Ibunya menginginkan Tokunaga mendapatkan pendidikan yang lebih baik, pendidikan yang tidak hanya berasal dari sebuah lembaga (sekolah) tetapi juga dari lingkungan yang sehat. Dengan air mata mengalir, Tokunaga meninggalkan Hiroshima dan menuju Saga tempat dimana dia bertemu dan tinggal bersama Nenek Osano. Saga adalah sebuah kota kecil yang indah. Hari baru saja beranjak malam, namun suasana kota sudah mulai sepi dan gelap. Bersama bibinya, Tokunaga berjalan memasuki Saga dengan keheranan terhadap tempat yang baru saja dimasukinya. Kecemasannya semakin bertambah ketika ia sampai di depan rumah sang Nenek yang secara tidak langsung memberitahunya bahwa ia akan mengecap kehidupan yang lebih susah di Saga. Rumah Nenek Osano sangat amat sederhana, nyaris seperti sebuah gubuk reyot yang beratap jerami. Begitulah akhirnya Tokunaga kecil sampai di Saga dan tinggal bersama Nenek Osano. 

Bagaimana kehidupan sang Nenek Osano? 

Setiap jam empat pagi Nenek Osano sudah mulai bekerja dan baru pulang jam 11 siang. Ketika sang Nenek pulang, semua orang bisa mendengarkan bunyi klang klang klang klang yang mengiringinya. Nenek Osano mengikat seutas tali ke pinggangnya, di ujung tali ada sebuah magnet yang menjuntai ke tanah dan berbunyi setiap kali ia berjalan. Magnet tersebut akan menarik sampah logam yang kemudian bisa dijual kembali. Ia tidak menyia-nyiakan apa saja yang mungkin bisa dibawanya pulang. Bahkan di sebuah sungai di dekat rumah, ia membuat sebuah gala yang dapat menahan apa saja yang dibawa arus sungai, mulai dari ranting-ranting yang bisa dikeringkan dan jadi bahan bakar, lobak ataupun timun, buah-buahan yang separuh rusak, sampai sandal geta yang kemudian bisa digunakan oleh Tokunaga. Membayangkan segala persediaan yang mengalir di sungai dan ditahan oleh gala sang Nenek, tolonglah jangan membayangkan sungai seperti yang ada di Indonesia (khususnya jakarta) Ok!. Nenek menyebut sungai sebagai “supermarket”, karena bisa menyediakan setiap kebutuhan mereka. Di hari ketika mereka tidak menemukan apapun di gala itu, sang Nenek akan berkata “hari ini supermarket libur”. Begitulah ia selalu bersyukur dengan apa yang ada dan selalu ceria penuh tawa menghadapi hidup.
“Kebahagiaan itu bukanlah sesuatu yang ditentukan oleh uang. Kebahagiaan itu adalah sesuatu yang ditentukan oleh diri kita sendiri, oleh hati kita.”

Nenek Osano
Membaca kisah Tokunaga, seperti belajar kembali memahami arti sebuah kebahagiaan. Nenek Osano mengingatkan saya pada sebuah rumus kebahagiaan yang pernah disampaikan oleh Mitch Albom dalam buku Have a little faith. Di buku itu, hanya ada dua rahasia kebahagiaan : merasa cukup dan bersyukur atas apa yang telah Tuhan berikan. Kedua hal itu juga mengiringi kehidupan Nenek Osano di Saga. Bagi Tokunaga, Nenek Osano adalah seorang yang hebat, keras kepala, dan punya ribuan ide cemerlang yang terkadang membuatnya tertawa. Nenek Osano hidup miskin, namun ia memilih miskin yang ceria. Ia tidak mau meminta-minta. Terkadang terkesan pelit, namun lebih tepatnya hemat. Di saat orang lain datang meminta bantuannya, ia tidak akan lama berpikir untuk mengeluarkan uang 5000 yen dari tempat penyimpanan hartanya. Nenek Osano memberi dari kekurangannya. Tokunaga belajar hal itu dari Neneknya dan saya pun belajar hal itu dari sang Nenek.

Saya membayangkan Nenek Osano sebagai seorang yang kocak dengan ide-ide lucu yang membuat saya sering tertawa ketika membaca kisah ini. Di tengah ide kocak sang Nenek, terselip berbagai pesan berharga yang membuat saya manggut-manggut mencoba memahami. Tokunaga tinggal selama delapan tahun bersama Nenek Osano di Saga. Tokunaga belajar banyak dari sang Nenek. Ia bahkan bersyukur karena Ibunya telah mendorongnya meninggalkan Hiroshima sehingga bisa mengecap kehidupan indah dan menyenangkan di masa kecilnya. Masa kecil memang sangat menentukan kepribadian seorang anak, sehingga pelajaran yang dikecap seorang anak di masa kecilnya sedikit banyak akan mempengaruhi cara hidup dan pola pikirnya. Di bagian akhir buku ini, Yoshici Shimada yang memiliki nama asli Akihiro Tokunaga mengakui bahwa kehidupannya sangat dipengaruhi oleh ajaran sang Nenek. Ia hidup cukup dengan apa yang dibutuhkannya. Walaupun telah menjadi salah satu anggota kelompok lawak “B&B” yang tampil di panggung dan menorehkan karya-karyanya, Tokunaga mengakui bahwa cara hidupnya mengakar pada ajaran sang Nenek, cukup dengan sandang, pangan dan papan.

Menulis resensi buku ini, sangat tidak cukup mewakili gambaran kehidupan dan ajaran Nenek Osano kepada Tokunaga. Saya sangat merekomendasikan anda untuk membaca buku ini. Buku ini sangat enak dibaca, terjemahannya pun mulus. Terkadang saya merasa sedang mendengar cerita dari seorang anak kecil saking ringannya bahasa di dalam buku ini. Saya selalu menyimpan buku-buku seperti ini untuk dibaca pada saat-saat sulit, berharap mendapat kebahagiaan dan sedikit harapan, dan terimakasih untuk Akihiro Tokunaga yang telah memperkenalkan Nenek Osano kepada saya. Saya mendapat banyak hal istimewa dari cara hidupnya dan saya berharap anda juga akan mendapatkannya ketika membaca kisah sederhana penuh air mata kebahagiaan ini.

----------------------------------------------------------------------
Judul      : Saga no Gabai Bachan (Nenek Hebat dari Saga)
Penulis   : Yoshichi Shimada
Penerbit : Kansha Books
Terbit     : April 2011 (Cetakan I)
Tebal      : 264  
-----------------------------------------------------------------------

Wednesday, June 15, 2011

Review : Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken

Jika saya menyebut “perpustakaan” anda pasti langsung membayangkan sebuah tempat yang dipenuhi oleh berbagai macam buku dari segala zaman. Namun, jika saya menambahkannya menjadi “perpustakaan ajaib”, apakah fantasi anda masih sama?

Kisah di dalam buku ini melibatkan dua orang saudara sepupu, Nils Bøyum Torgersen dan Berit Bøyum. Nils tinggal di Oslo, sedangkan Berit tinggal di Fjaerland. Keduanya berada di wilayah Norwegia, namun terpisah ratusan kilometer jauhnya. Setelah pertemuan terakhir selama liburan musim panas, mereka memutuskan untuk terus berkomunikasi lewat surat. Uniknya, mereka tidak menggunakan selembar kertas surat, melainkan sebuah buku. Disinilah kejadian-kejadian mencurigakan mulai terjadi. Ketika Nils ingin membeli buku yang akan dijadikan buku surat, seorang wanita asing dengan ekpresi aneh muncul dan menawarkan diri untuk membayari buku itu.

Seiring dengan mulainya buku surat, berbagai kejadian aneh mulai terjadi disekitar mereka. Ternyata Berit pun bertemu dengan wanita yang sama dan secara tidak sengaja membaca surat yang terjatuh dari tas wanita itu. Di surat itu, mereka mendapat informasi baru mengenai sesuatu yang disebut “perpustakaan ajaib bibbi bokken”. Lalu entah secara kebetulan atau tidak, Nils bertemu dengan seorang laki-laki botak yang akhirnya mengejarnya dan terkesan menginginkan buku suratnya. Ketika Nils membuat sebuah karangan tentang Bibbi Boken untuk memenuhi tugas sekolahnya, betapa terkejutnya dia ketika salah satu gurunya menunjukkan ketertarikan yang berlebihan terhadap karangannya. Melalui guru itu, ia mengetahui identitas Bibbi Bokken, yang menurut sang guru pernah kuliah di universitas yang sama dengannya. Bibbi bokken tinggal di daerah Fjaerland, karena itu Berit dengan mudah mendapat informasi bahwa wanita itu sering mendapat banyak paket berisi buku. Didorong oleh rasa ingin tahu, Berit menyelinap ke rumah Bibbi Bokken, namun ia tidak menemukan satu buku pun di dalam rumah itu. Pada saat yang sama, Nils sedang menemani orang tuanya liburan ke Roma, namun ketika sampai di Roma, ia justru menemukan secarik puisi yang ditujukan untuknya dan menuntunnya menemui seorang laki-laki tuli yang memiliki sebuah toko buku antik. Bertemu dengan lelaki tuli tersebut, Nils mendapatkan sebuah surat lain, namun tiba-tiba sang lelaki botak muncul lagi dihadapannya, di dalam toko itu.

Bagaimana mungkin lelaki yang sama bisa juga berada di Roma pada saat Nils sedang liburan? Lalu siapakah Bibbi Bokken itu? Apa hubungannya dengan laki-laki tuli yang berada di Roma? Mengapa Nils terus menerus dikejar oleh seorang laki-laki botak tak dikenal? Dan apa sebenarnya maksud dari perpustkaan ajaib bibbi bokken? Semua pertanyaan dan fakta-fakta yang mereka temukan, semuanya tertuang di dalam buku surat yang secara bergantian mengunjungi Oslo-Fjaerland itu.

Tak diragukan lagi Jostein Gaarder sebagai seorang penutur cerita yang baik. Bahkan Dunia Sophie yang sarat ilmu filsafat pun menjadi menarik dalam penuturan Jostein Gaarder. Namun jangan berpikir bahwa buku ini serumit Dunia Sophie. Perpustakaan ajaib bibbi bokken dituturkan dengan sederhana dan penuh nuansa petualangan. Keterikatan antara tokoh dan tempat-tempat di dalam kisah ini sangat menarik. Bahkan lewat buku surat, pembaca akan dibawa untuk mengenal Anne Frank, Winnie The Pooh, Astrid Lindgren, Klasifikasi Desimal Dewey dan bahkan puisi serta penulis-penulis terkenal dunia beserta karya masing-masing. Ada pula potongan-potongan puisi yang dikutip oleh dua sepupu ini untuk para pecinta puisi. Cerita ini seperti sebuah cerita detektif ala Alfred Hitchcock ataupun lima sekawan, namun dengan konsep yang berbeda.

Buku ini unik karena hanya terdiri dari dua bab. Bab pertama mengenai buku surat dan bab kedua perpustakaan ajaib bibbi bokken. Nils dan Berit melakukan investigasi ala anak-anak cerdas sebelum mereka bertemu langsung dengan konsep perpustakaan ajaib itu sendiri. Bahkan cerita petualangan ini memberikan informasi-informasi tentang dunia buku yang menarik hati. Kalau pembaca senang dengan bibliography, maka buku ini akan menjadi sarana pemberi informasi yang memuaskan.

Sayangnya perpindahan tokoh aku di dalam buku ini terkadang membingungkan. Khususnya pada bab dua, saya sering sekali bingung membedakan siapa yang sedang menuturkan cerita. Saya harus membaca ulang beberapa bagian untuk memahami siapa yang sedang menjelaskan. Mengenai terjemahan, edisi gold dari Mizan ini tidak perlu diragukan. Terjemahannya mulus. Saya juga menyukai cover dari edisi gold ini, terkesan ajaib, sehingga jika berada di sebuah rak buku, cover ini akan menarik mata untuk memandangnya. 

------------------------------------------------------
Judul      : Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken
Penulis    : Jostein Gaarder & Klaus Hagerup
Penerbit : Mizan
Terbit     : Maret 2011 (Cetakan I ; Gold Edition)
Tebal      : 284 hal
-----------------------------------------------------

Wednesday, June 8, 2011

Review : The Fifth Mountain (Gunung Kelima)



Kisah dalam buku ini diangkat dari sepenggal episode di Alkitab, namun kisah ini tetap bertema universal dan berbicara tentang seorang manusia. Sifat-sifat manusia seperti keraguan, ketakutan, dan cinta melekat dalam kisah ini. Paulo Coelho mengangkat tema yang memperlihatkan hubungan manusia dengan Tuhan, namun ia berbicara dengan cara yang bijak dan mengungkapkan pelajaran-pelajaran yang berharga.

Sekitar abad ke-9 SM, pada saat kerajaan Samaria dipimpin oleh Raja Ahab dan istrinya Izebel, penyembahan dewa-dewa baal semakin meluas. Kehadiran Tuhan mulai digantikan dengan patung-patung dan kuil-kuil baal. Di kerajaan itu, hiduplah Elia, seorang nabi pilihan Tuhan yang taat. Karena ketaatannya, jiwa Elia pun terancam. Di tengah ketakutannya, ia mengalami perjumpaan dengan Tuhan yang memerintahkannya untuk mengungsi ke Sarfat (orang-orang Sarfat menyebut kota itu sebagai Kota Akbar ; demikian juga selanjutnya saya akan menyebutnya kota Akbar). Di kota akbar, Elia menumpang di rumah seorang janda miskin yang tinggal bersama anaknya. Melarikan diri dari tempat tinggalnya yang mulai percaya kepada baal, Elia menjumpai masyarakat kota Akbar yang sepenuhnya juga percaya kepada baal. Mereka percaya bahwa di atas gunung kelima, para dewa bersemayam dan mengamati mereka. Elia mencoba mengikuti kehendak Tuhan untuk tinggal di kota itu dan berbaur dengan masyarakatnya. Selang beberapa waktu, Elia mulai mendapat perhatian dari masyarakat. Ia mulai dianggap sebagai orang yang bijaksana, bahkan Gubernur setempat mulai memberikan perhatian terhadap orang asing ini. Elia menetap sementara di kota Akbar, sambil menunggu perintah Tuhan untuk membawanya kembali ke Samaria dan menyelamatkan bangsanya dari penyembahan berhala di bawah kekuasaan Raja Ahab. 

Suatu hari, dalam penantiannya itu, Elia mendapati Kota Akbar terancam peperangan dan kehancuran. Elia bertanya kepada Tuhan : Apa yang harus ia lakukan untuk menyelamatkan kota yang indah itu dari kehancuran. Dalam pergumulannya, Tuhan menjawab Elia. Elia bisa melakukan mujizat untuk menghentikan peperangan itu, namun mujizat itu hanya bisa dilakukan satu kali. Elia harus memilih melakukan mujizat itu untuk menyelamatkan Kota Akbar atau melakukannya nanti ketika menyelamatkan bangsanya. Saat inilah Elia dipukul hebat dengan pilihan-pilihan sulit yang mulai berdatangan, ia harus benar-benar bijak dan belajar membangun kembali. Apakah pilihan yang diambil oleh Elia? Apakah ia memilih? Ataukah ia hanya berdiam diri?
“…manusia harus memilih. Disitulah letak kekuatannya; kesanggupan untuk memilih”. [hal 182]
Buku ini sangat mengajar. Bukan mengajar secara agama tertentu, tetapi mengajar secara universal tentang arti sebuah perjuangan, iman dan harapan. Elia tidak selalu dipuji sebagai orang bijak, ada saatnya ia dikecam oleh banyak orang. Demikian Elia belajar tentang banyak hal yang tidak bisa dihindari dalam hidup.
“Hal-hal yang tak terhindarkan selalu saja terjadi. Kau butuh disiplin dan kesabaran untuk mengatasinya. Dan harapan. Kalau harapan sudah tak ada lagi, buat apa membuang-buang tenaga untuk melawan hal yang mustahil” [hal 237]
Jika anda membaca kisah ini, anda akan melihat proses Elia belajar untuk menantang takdir dan memperjuangkan hidupnya. Ia tidak hanya menyerah pada apa yang menimpanya, tetapi ia bangkit dan menantang Tuhan, ia terus berjalan maju meski pada awalnya langkahnya akan terseret-seret sampai akhirnya ia bisa berlari. Dan apakah Tuhan marah atas sikapnya? Hmm…Tuhan tersenyum puas…Kenapa? Anda akan memahaminya ketika membaca buku ini.

Setelah The Alchemist, The Fifth Mountain adalah buku kedua Paulo Coelho yang saya baca. Ketika melihat latarbelakang kehidupan sang penulis, saya mengerti kenapa beliau selalu mengusung tema perjuangan akan mimpi, harapan, dan kerja keras. Paulo Coelho pernah tiga kali dimasukkan ke rumah sakit jiwa oleh orang tuanya karena keinginannya menjadi seorang penulis. Orang tuanya tidak ingin ia menjadi sastrawan. Namun, Paulo Coelho tetap memperjuangkan mimpinya, ia bahkan bergabung dalam teater dan menjadi jurnalis. Kehidupan jurnalistik di Brazil pada masa itu dianggap sebagai kehidupan yang tidak bermoral, sehingga orang tuanya takut hal itu akan membawa pengaruh buruk untuknya. Kecemasan orang tuanya menghempaskannya jauh dari mimpinya. Namun, ia bangkit kembali dan akhirnya menorehkan karya-karya luar biasa yang akhirnya bisa sampai di tangan pembaca.

Sayangnya Paulo Coelho tidak menuntaskan kisah Elia dalam buku ini. Sepenggal kisah Elia dalam buku ini memiliki titik pusat di kota Akbar. Saya justru berharap, Paulo Coelho melanjutkannya sampai ketika Elia kembali ke Samaria, walaupun hal itu merupakan sebuah perjalanan baru. Ketika kita sebagai manusia menuntaskan suatu tahap dalam hidup, kita akan melaju pada tahap hidup berikutnya dimana perjuangan akan kembali dituntut. Melalui sebuah quote yang paling saya sukai dalam buku ini, saya diingatkan untuk memperhatikan setiap tahap itu. Quote tersebut berbunyi demikian :
“Kita harus selalu tahu kapan suatu tahap dalam hidup kita telah berakhir. Kalau kita bersikeras mempertahankannya, padahal kita sudah tidak membutuhkannya, kita akan kehilangan sukacita dan makna hidup kita selebihnya. Dan ada risiko kita akan diguncang-guncang hebat oleh Tuhan” [hal 309]

--------------------------------------------------------
Judul      : The Fifth Mountain (Gunung Kelima)
Penulis   : Paulo Coelho
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit     : April 2011 (Cetakan keempat) 
Tebal      : 320 hal 
--------------------------------------------------------

Friday, June 3, 2011

Review : Ways to Live Forever


Di dalam buku yang satu ini, ada seorang anak berumur 11 tahun yang mengidap leukemia. Can you imagine that? Dia berusia 11 tahun dan mengidap leukemia!! Anak ini dikenal dengan nama Sam.

Sam suka mengumpulkan fakta. Ia bercita-cita menulis sebuah buku. Buku yang berisi berbagai fakta, pertanyaan, bahkan kumpulan hal-hal yang disukainya. Pertanyaan-pertanyaan yang ia sampaikan disebutnya sebagai pertanyaan tak terjawab. Salah satunya adalah : “Kenapa Tuhan membuat anak-anak jatuh sakit?” Jika pertanyaan itu diajukan kepada saya, saya tidak punya jawabannya. Buku ini adalah buku harian sam. Ia menulisnya diminggu-minggu terakhir kehidupannya. Awal membaca buku ini saya sering tertawa. Saya tertawa membayangkan wajah Sam dan sahabatnya Felix yang juga sedang sekarat, namun tetap iseng. Saya tertawa ketika mereka sedang mendiskusikan sesuatu yang akan ditulis di buku harian itu, seperti ketika mereka berdebat tentang jawaban “Kenapa Tuhan membuat anak-anak jatuh sakit?” atau setiap kali Sam dan Felix bertemu, saling menatap dan bertanya “sekarang ngapain?”. Saya membayangkan wajah nakal anak-anak malang itu dan tersenyum. Saya paling suka ketika mereka mendapat ide untuk membuat pertanyaan dengan model pilihan ganda tentang kematian sam yang harus diisi oleh orang tua sam kelak setelah ia meninggal. Mereka membuat segala sesuatu sebagai lelucon. Namun di saat saya sedang tertawa, tiba-tiba saya harus terdiam, terharu dan merenungkan betapa anak-anak ini, Sam dan Felix mensyukuri kehidupan mereka yang hanya sebentar. Memang ada saat-saat ketika Sam tidak kuat untuk beraktivitas dan hanya tertidur, namun ia selalu bersemangat, ia terus bersemangat. Ia memandangi keluarganya, merekam memori kehangatan kebersamaan mereka untuk mengingatnya selamanya.

Cukup…hanya itu yang bisa saya sampaikan. Review ini pendek bukan karena buku ini tidak bagus, tetapi karena bahasa saya menjadi terbata-bata ketika mendeskripsikan hal-hal seperti ini. Silahkan anda baca sendiri untuk memahami Sam. I Love Sam….really…I love his spirit.

Felix & Sam (Movie)

Felix & Sam (Movie)

------------------------------------
Judul      : Ways to Live Forever
Penulis    : Sally Nicholls
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit     : Januari 2011
Tebal      : 216 hal
--------------------------------------------