Friday, March 30, 2012

[Review] Kisah seorang Putri kecil yang murah hati


Seorang gadis kecil kaya raya mungkin mampu menampilkan dirinya bak seorang putri raja, namun bagaimana jika gadis kecil itu miskin, kedinginan, dan kelaparan? Penderitaan seringkali mengubah hati seorang putri raja sekalipun menjadi sangat berbeda, pembaca dapat menarik kesimpulan pribadi setelah membaca kisah karya Francess Hodgson Burnett ini.

Sara Crewe dibawa oleh sang ayah dari India menuju sebuah sekolah asrama di London yang dipimpin oleh seorang perempuan berhati dingin bernama Miss Minchin. Miss Minchin yang sangat matrealistis itu menyambut Sara dengan pujian bertubi-tubi karena ia merasa bangga menyambut seorang yang sangat kaya raya akan bersekolah ditempatnya. Sara bukanlah seorang gadis kecil biasa, ia sering disebut sebagai “nyonya kecil” oleh ayahnya, Kapten Crewe, karena jalan pikirannya yang terkadang melampaui usianya. Sara yang cerdas langsung bisa menyadari karakter Miss Minchin, namun ia berusaha untuk bersikap dewasa dan tidak mengeluh. Ia membayangkan dirinya sebagai seorang serdadu di medan perang yang tidak boleh mengeluh. Setelah menyiapkan semua kebutuhan Sara, Kapten Crewe kembali ke India. Sara diberikan seorang pelayan, kamar yang indah, hadiah-hadiah yang membuat semua anak-anak lain di sekolah itu mengguminya bak seorang putri. Seperti biasa, dimana ada kekaguman, disitu juga biasanya terdapat kecemburuan dan iri hati. Banyak anak kecil yang menyukai dan memuja Sara, namun ada juga yang iri terhadapnya sehingga sangat membencinya. Sara tidak hanya baik hati untuk setiap teman sekolahnya, ia juga bersikap baik kepada seorang pembantu kecil bernama Becky. Becky yang setiap hari mendapat omelan dan selama hidupnya tidak pernah mendengar sapaan lembut untuk dirinya sangat memuja dan menyayangi Sara.
Sara-yang hanya melakukan sesuatu yang sangat disukainya melebihi apapun, karena Alam telah membuatnya menjadi orang yang murah hati – sama sekali tak punya bayangan tentang betapa besar arti dirinya bagi Becky yang malang, dan betapa dirinya adalah penyelamat” [hal 81] 
Suatu hari, saat sedang merayakan pesta ulang tahunnya dengan sangat meriah, ditengah semua kegembiraan yang sedang dibaginya bersama seluruh teman-teman asramanya, kabar buruk itupun datang menghampirinya. Kapten Crewe meninggal dunia karena demam yang dilandanya dan meninggalkan Sara tanpa warisan sepeser pun. Hidup Sara berubah semudah membalikan telapak tangan. Pesta ulang tahun langsung dihentikan, semua pakaian indah diambil daripadanya. Sara tak bisa lagi menempati kamar indahnya. Ia langsung ditempatkan di sebuah bilik di bawah atap bersebelahan dengan bilik Becky. Becky menjadi sahabat yang menghiburnya. Sejak saat itu, Sarah harus mengerjakan pekerjaan pembantu, mengajar anak-anak kecil dan seringkali tidak mendapat makanan sehingga ia harus tidur dengan perut kelaparan.

Sarah memiliki kebiasaan suka menceritakan dongeng, sehingga tidak heran, ia pun senang sekali berkhayal, namun khayalannya ini seringkali membantunya melewati masa-masa suram. Terkadang disaat kedinginan, sambil memandang sekeliling biliknya di bawah atap itu, Sarah membayangkan semua hal indah tentang tempat itu. Hal itu sangat membantunya mengobati rasa kesepiannya. Miss Michin pun acapkali geram ketika mengomeli Sara dan mendapati anak itu hanya menatapnya dengan tatapan yang sangat tenang dan tetap bersikap sopan. Karakter Sara yang sangat berbeda itu membuat semua orang di asrama itu, temasuk para pembantu, terheran-heran melihatnya. Akankah Sara tetap mempertahankan hati seorang putri yang dimilikinya dalam semua penderitaan yang semakin lama semakin berat itu? Akankah hadir seorang malaikat yang diutus oleh sang Ayah untuk datang mengubah nasibnya?

Cobalah bertanya kepada diri anda sendiri, “apakah saya adalah orang yang baik?” apakah anda tahu jawabannya?
Kemalangan dikirim untuk mencobai orang-orang, dan kemalanganku telah mencobai dirimu dan membuktikan bahwa kau orang yang baik” [hal 131]
Sebelum mengalami penderitaan, Sara tidak berani menyebut dirinya seorang yang baik. Ia berpikir, karena ia dilahirkan dilingkungan yang baik, maka ia pun bersikap baik. Akhirnya cobaan itu datang kepadanya untuk membantu dirinya menjawab pertanyaan itu. Pada saat cobaan tersebut datang, ia harus memilih untuk tetap menjadi orang yang baik atau bersikap sebaliknya. Kisah Sara juga membuat pembaca bisa mempelajari banyak hal. Kisah ini, sejak halaman pertama menaburkan kebaikan dan ketulusan Sara.
Bukan hadiah bagus, kain flanelnya bukan kain baru, tapi aku ingin memberimu sesuatu dan aku membuatnya setiap malam. Aku tahu kau pasti bisa berpura-pura bahwa bantalan jarum itu terbuat dari kain satin dan jarum-jarum berlian. Aku sudah mencobanya saat aku membuatnya……Sarah langsung berdiri dan memeluk Becky. Ia tak bisa menjelaskan kepada dirinya atau kepada orang lain, mengapa tenggorokannya terasa begitu tercekat” [hal 85]
Buku ini juga mengingatkan setiap pembaca bahwa dunia ini dipenuhi dengan orang-orang yang mendambakan sebuah senyuman dan sapaan lembut. Tersenyumlah kepada seorang anak kecil yang anda lewati entah dimana, itu mungkin akan mengenyangkan hatinya. 
Becky nyaris tidak pernah mengenal suara tawa dalam hidupnya yang penuh kemalangan dan kerja keras itu. Sara telah membuatnya tertawa dan ikut tertawa bersama-sama; dan meski mereka tidak menyadarinya, suara tawa itu juga “mengenyangkan”, sama seperti perkedel-perkedel daging tersebut” [hal 82]
A little princess dituturkan dengan detail tempat, kondisi, dan perasaan tokoh yang sangat jelas. Seperti halnya buku klasik lainnya, hal-hal seperti itu terasa tidak aneh. Buku ini dituturkan oleh seorang narator seperti pendongeng yang sedang menceritakan kisahnya. Terjemahan gramedia pun mengalir, tidak kaku dan mudah dipahami. Pilihan covernya terasa pas dengan nuansa London dan konteks klasiknya. Buku ini bisa menjadi bacaan untuk semua usia. Untuk anak-anak, mereka bisa belajar untuk memiliki kebesaran hati dan ketulusan serta kerendahan hati lewat karakter Sara. Untuk orang dewasa, buku ini kembali mengingatkan untuk hidup dalam ambisi positif, memelihara kesabaran ditengah persoalan hidup serta bersyukur dalam setiap keadaan.

Gramedia untuk kedua kalinya memperkenalkan saya kepada karya Francess Hodgson Burnett. Kedua karyanya yang telah saya baca melibatkan seorang anak kecil dengan latar belakangan India dan inggris. Francess Hodgson Burnett memang seorang wanita berdarah inggris, namun mengapa ia memilih India menjadi latar kedua karyanya yang banyak dikenal di dunia (A Little Princess dan A Secret Garden)? Sampai dengan tulisan ini terbit, saya tidak menemukan alasannya. Mungkin untuk pembaca resensi ini yang mengetahui jawabannya bisa berbagi informasi pada kotak komentar yang tersedia.
------------------------------------------
Judul : A Little Princess
Penulis : Frances Hodgson Burnett
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : November 2010
Tebal : 312 hal
ISBN : 978-979-22-6406-7
------------------------------------------

[Review] perempuan cerdas pada abad kegelapan yang nyaris terlupakan



Pada abad ke sembilan, pada masa paling gelap dalam Abad kegelapan hiduplah seorang tokoh yang sangat sedikit diketahui orang. Ia memunculkan kontroversial sehingga menyebabkan semua catatan tentang dirinya dimusnahkan. Namun paling tidak, sampai dengan pertengahan Abad ke-17 namanya masih dikenal dan diakui secara universal. Ia adalah Paus Yohanes Anglicus atau Paus Joan dan ia adalah seorang perempuan. Lalu bagaimana mungkin seorang perempuan bisa menduduki kekuasaan tertinggi dalam kursi keagamaan tersebut? Anda harus kembali dan melihat jauh sebelum masa itu, pada masa ketika Joan memulai semuanya.

Joan lahir dari seorang ibu saxon yang menyembah para dewa, sementara ayahnya adalah Kanon (semacam pendeta atau imam) di sebuah desa bernama ingelheim. Ayahnya merasa telah memenangkan jiwa ibunya dari kekuasaan para dewa, membawanya ke ingelheim dan memiliki tiga orang anak darinya.  Matthew dan John , kedua kakak Joan diberikan pelajaran membaca dan menulis, namun Joan bahkan tidak boleh memegang kitab suci. Pada usia empat tahun Joan bertanya kepada Matthew mengenai perbedaan laki-laki dan perempuan. Jawaban yang diberikan oleh Matthew benar-benar tidak menentramkan hatinya. Pada usia enam tahun Joan mulai mendesak Matthew untuk mengajarkannya cara menulis dan membaca. Bagian yang paling menarik adalah ketika Joan berdebat dengan Matthew mengenai kemampuan yang dimiliki oleh Santa Kathrina. Perdebatan itu cukup panjang untuk dikutip dalam tulisan ini, jadi saya menyarankan anda untuk membacanya pada halaman 39-40 untuk melihat betapa cerdasnya Joan kecil. Kehidupan Joan berubah ketika Matthew meninggal dunia dan meninggalkan Joan yang sudah mulai mencintai pendidikan sementara sang ayah terus menjauhkan semua pendidikan itu darinya. Ketika sang ayah tahu bahwa Joan bisa membaca, ia justru menuduh Joan sebagai penyebab kematian Matthew. Lihatlah bagaimana perempuan dianggap sebagai sebuah malapetaka yang dapat mendatangkan murka Tuhan hanya karena ia bisa membaca. 
 “Kau! Suara ayahnya terdengar bergemuruh dan bergetar oleh amarah. Ternyata kau orangnya! Dia menunjuk kearah putrinya dengan mata menuduh. Kaulah orangnya! Kau membawa kemarahan Tuhan turun di rumah kita. Anak yang jahat! Durhaka! Kau membunuh kakakmu sendiri!” [hal 54]
Suatu hari seorang cendikiawan bernama Aesculapius datang berkunjung kerumah sang Kanon dan menyadari kecerdasan yang dimiliki Joan. Sang Kanon meminta Aesculapius untuk mengajar John, namun Aesculapius lebih tertarik dengan Joan. Sang kanon terpaksa membiarkan Joan mendapat pengajaran hanya agar John dapat belajar dari sang cendikiawan. Joan memanfaatkan kesempatannya dan belajar banyak hal baru. Ia tidak hanya belajar tentang  kitab suci, tetapi juga ia mulai mengenal pemikir-pemikir dunia seperti cicero dan hipokrates. Ilmu pengetahuan memuaskannya.

Selang waktu setelah Aesculapius pergi meninggalkan Ingelheim, seorang utusan dari Dorstadt mengunjungi rumah Joan dengan membawa pesan dari uskup di Dorstad agar membawa Joan ke Schola (sekolah yang pada masa itu hanya diikuti oleh anak laki-laki). Ayahnya tidak mengijinkannya, namun Joan mengambil langkah berbahaya dengan melarikan diri dan menyusul sang utusan. Sejak hari itu, Joan dan John meninggalkan rumah masa kecil mereka.

Sejak meninggalkan rumah, Joan mengalami berbagai petualangan menarik yang terkadang menciptakan “comfort zone” untuknya namun beberapa saat kemudian memporak-porandakan kehidupannya, membuatnya harus melarikan diri dan bersembunyi. Ketika John meninggal dalam serangan bangsa Viking, Joan menggunakan identitasnya untuk memasuki tahap petualangan yang baru. Sejak saat itu Joan dikenal sebagai John Anglicus.

Membaca kisah Pope Joan memancing kemarahan. Bagaimana saya tidak terpancing untuk marah, ketika mendengar isi kitab suci diartikan sangat harafiah dan perempuan diperlakukan begitu rendah.
sebab suami adalah kepala istri. Karena itu, wahai para istri tunduklah kepada para suamimu dalam segala hal” [hal 33]
Novel ini diceritakan oleh seorang narator. Alurnya mengalir cepat sehingga mempengaruhi saya sebagai pembaca bisa menyelesaikan buku ini dalam waktu yang lebih cepat. Di bagian akhir buku, penulis menegaskan mengenai tambahan cerita yang ia ciptakan sendiri untuk melengkapi kisah Pope Joan yang tidak memiliki catatan resmi. Banyak karakter yang diciptakan mengelilingi kehidupan Joan. Karakter favorit saya adalah sang tokoh utama. Sebuah bagian menarik adalah ketika Joan menghadapi situasi-situasi dilematis dimana dia harus memberikan jawaban jujur namun tidak boleh menuduh orang lain. Banyak jawaban-jawaban konyol yang mengundang tawa namun tetap menyiratkan kecerdasan yang sangat tinggi. Selain Joan, saya juga menyukai Gerold. Gerold memiliki kecerdasan yang dapat menolong Joan menyadari betapa berbahayanya cara Joan mengungkapkan segala sesuatu. Gerold tidak hanya cerdas namun juga bijaksana. Penulis menambahkan nuansa romance diantara keduanya dengan tidak berlebihan. 

Lewat novel ini saya mengetahui bahwa pada suatu masa, kehidupan di Eropa sangat menyedihkan. Perancis, Jerman ataupun Italia bukanlah sebuah Negara. Mereka semua masih berupa satu kesatuan dibawah kuasa kekaisaran. Beberapa catatan sejarah yang dimuat dalam novel ini adalah akurat, namun untuk Paus Joan itu sendiri, tidak ada catatan resmi yang menyatakan keberadaannya. Penulis menekankan bahwa Paus Joan tercatat dalam liber pontificalis (dokumen kaum propagandis) yang kebenarannya pun tidak dapat dipastikan. Namun lewat penelitiannya selama tujuh tahun, penulis menuliskan dibagian akhir bahwa Joan menjadi Paus sekitar tahun 853 setelah Paus Leo IV meninggal. Joan diperkirakan menjadi Paus selama kurang lebih dua tahun, karena Benediktus III mulai menjabat Paus pada tahun 855.

Hal menarik lainnya mengenai masa itu adalah ketika seseorang menjadi terdakwa karena sebuah tuduhan yang diarahkan kepadanya oleh seorang yang menduduki jabatan tertentu, pengambilan putusan bersalah hanya didasarkan pada berapa banyak orang yang mendukung kedua belah pihak (sang terdakwa dan sang pendakwa). Tidak ada penelusuran dan pembuktian akan tuduhan tersebut. Perkataan seseorang diterima mentah-mentah tanpa bukti apa-apa. Tingkat buta huruf pada masa itu sangat tinggi. Kota Roma menampilkan keadaan yang sangat kontradiktif.

Roma, di mata Joan, adalah sebuah kota kuno dengan kontradiksi-kontradiksi yang kelihatannya tidak mungkin didamaikan: keajaiban dunia sekaligus tempat yang kumuh dan busuk; salah satu tempat peziarahan orang Kristen dengan sebagian besar warisan seninya justru dewa-dewi pagan; sebuah pustaka dan pengetahuan, namun diisi oleh orang-orang yang tidak berhenti berkubang di dalam kebodohan dak takhayul” [hal 432]
Banyak hal yang dapat pembaca pelajari dari kehidupan Joan. Joan memiliki hati yang penuh belas kasihan, sehingga tidak heran ia pun mendapatkan banyak sekali bantuan dari setiap orang yang pernah ditolongnya pada saat ia membutuhkannya. Sedikit ketulusan dalam wujud kepedulian dan bantuan terhadap orang lain membawa kebahagiaan juga bagi pemberinya. Pembaca juga dapat belajar untuk tidak cepat putus asa terhadap keadaan yang menghimpit. Jangan fokus pada masalah, karena dengan demikian anda tidak akan pernah melihat solusinya. Namun pembaca juga bisa belajar untuk lebih bijaksana dalam mengajukan gagasan-gagasan karena tanpa disadari ada sebagian orang yang mungkin dapat menjadi batu sandungan bagi kemajuan kita sendiri.

Ada beberapa typo yang cukup mengganggu, penggunaan bahasa melayu yang terdengar aneh ditelinga ataupun pengulangan kata yang sama secara berturut-turut terkadang mengganggu kenikmatan membaca. Namun secara keseluruhan buku ini enak dibaca, terjemahannya pun jelas dan tidak kaku. Empat bintang untuk karya Donna Woolfolk yang mengenalkan saya pada seorang perempuan yang seharusnya tidak boleh dilupakan oleh dunia.



--------------------------------------
Judul : Pope Joan
Penulis : Donna Woolfolk Cross
Penerbit : Serambi
Terbit : Cetakan II, Maret 2007
Tebal : 736
ISBN : 979-1112-43-6
--------------------------------------