Friday, April 27, 2012

[Review] Di Mana Ada Cinta, Di Sana Tuhan Ada



“Dan yang kepadanya ditampar di salah satu pipi, hendaklah menawarkan pipi lainnya; dan ia yang mengambil jubahmu jangan dilarang untuk juga mengambil jaketmu. Berikan kepada semua orang apa yang mereka pintakan kepadamu” [hal 12]

Dari ungkapan diatas, tidakkah anda dapat melihat sebuah arti yang sangat jelas mengenai arahan untuk hidup saling mengasihi? Manusia diciptakan dan dibekali dengan kemampuan untuk mencintai dan mengasihi orang lain namun bersamaan dengan itu dunia tempat manusia hidup dipenuhi dengan berbagai macam hal yang membuat manusia tidak mampu mengekspresikan cinta tersebut. Karya Leo Tolstoy ini mungkin mampu mengingatkan anda untuk kembali menemukan cara-cara sederhana untuk hidup dengan cara yang memang sejak awal dimintakan kepada kita. Ada lima cerita dalam buku ini, dan judul “Di mana ada cinta di sana Tuhan ada” diambil dari judul cerita pertama.

“Aku pernah menjadi seorang yang lapar dan kau memberiku daging; aku pernah kehausan dan kau memberiku minum; aku pernah menjadi seorang asing dan kau mengajakku masuk…Oleh karena kau telah melakukannya kepada salah satu saudaraku, berarti kau telah melakukannya kepadaku”
[hal 31]

Cerita pertama mengisahkan seorang pengrajin sepatu bernama Martin Avdeich yang kehilangan semua anggota keluarganya. Martin menyalahkan Tuhan atas keadaan yang menimpanya itu, namun kunjungan seorang lelaki Tua yang berasal dari sebuah Biara mengingatkan Martin bahwa ia seharusnya hidup untuk Tuhan. Martin mendengarkan ajaran itu, sehingga ia mulai berubah, ia mulai membaca kitab suci setiap hari dan belajar memahaminya. Suatu hari ia mendengar suara yang berkata kepadanya “Aku akan datang”. Wahh Martin berpikir Tuhan akan datang kerumahku. Lalu apakah itu benar? Apakah ia akan melihat Tuhan?

“When you can't forGIVE, you can’t forGET. Therefore you can’t get the grace of God”

Ivan Dimitrich Aksionov berangkat dari kota Vladimir menuju kota Nizhmi untuk mengikuti pasar malam. Dalam perjalanannya, ia menginap di sebuah penginapan bersama orang-orang asing lainnya yang juga sedang melakukan perjalanan. Pada saat itu seorang asing terbunuh dan pisau yang digunakan untuk membunuh ditemukan dalam barang-barang Ivan. Hidup Ivan seketika berubah, alih-alih bisa kembali kepada keluarganya, ia justru dijebloskan kedalam penjara. Cerita yang kedua ini berjudul “Tuhan tahu, tapi menunggu”. Bagaimana hidup Ivan selanjutnya? Satu hal yang pasti ia akan belajar suatu hal yang luar biasa dalam pengalaman buruknya itu.

“Iman sebesar biji sesawi saja mampu memindahkan gunung”

Tiga orang pertapa yang sudah tua hidup di sebuah pulau terpencil. Mereka bertiga jarang berbicara. Mereka berkomitmen untuk melayani Tuhan namun dengan cara mereka sendiri. Suatu hari seorang uskup yang sedang berlayar mendengar cerita tentang mereka bertiga dan memutuskan untuk menghampiri dan mengajari mereka cara berdoa yang benar. Perkenalan sang uskup dengan ketiga pertapa ini justru menjadi pelajaran bagi sang uskup sendiri karena sebuah peristiwa menakjubkan terjadi diantara mereka yang membuat sang uskup menjadi saksi perbuatan iman. Cerita ketiga ini berjudul “Tiga Pertapa” dan membuat saya ingin sekali berada di kapal yang sama dengan sang uskup untuk menyaksikan ketiga pertapa itu.

“Apa yang paling penting dalam hidupmu?”

Cerpen keempat berjudul “Majikan & Pelayan”, mengisahkan dua orang dengan latar belakang dan karakter yang berbeda. Nikita adalah seorang pelayanan yang bekerja pada majikannya, Vasili Andreyevich. Vasili adalah orang yang sangat perhitungan dan cenderung suka menipu. Kehidupan mereka baik-baik saja sampai suatu hari mereka berdua melakukan perjalanan. Yang terpenting bukanlah tujuan, namun perjalanannya. Tetapi perjalanan seringkali mengubah tujuan awal. Demikian juga yang terjadi kepada sang majikan dan pelayanannya yang pada akhirnya menemukan jawaban terhadap pertanyaan diatas.

“Apa gunanya menyebrang mencari Tuhan, bila selama itu aku kehilangan kebenaran yang ada di dalam diriku” [hal 171]

Dua orang sahabat, Efim Tarasitch Shevelef dan Elisha Bodrof, berencana untuk melakukan ziarah ke Yerusalem. Elisha yang sangat bersemangat untuk perjalanan itu, sementara Efim sangat perhitungan. Efim tidak berani meninggalkan bisnisnya, ia takut anak-anaknya tidak bisa menjalankan bisnis tanpa dirinya. Berbagai kekhawatiran melanda kehidupan Efim, namun suatu hari Elisha berhasil meyakinkan sahabatnya untuk meninggalkan semua kekahwatiran itu sejenak dan memulai perjalanan mereka. Di tengah perjalanan mereka, Elisha mampir untuk meminta minum dari sebuah rumah yang ia lewati. Ia menyuruh Efim untuk terus berjalan dan berjanji akan segera menyusulnya. Saat masuk ke rumah itu, Elisha menemukan keadaan yang sangat menyedihkan. Semua anggota keluarga dalam rumah itu hampir tidak bisa berdiri karena kelaparan. Hati Elisha tergerak untuk membantu mereka namun itu berarti ia harus mengorbankan banyak hal termasuk waktu, uang, bahkan tujuan perjalanannya untuk beribadah. Lalu apakah Elisha mampu sampai ke Yerusalem? Apa yang terjadi dengan Efim yang menempuh perjalanan sendiri? Cerita terakhir ini berjudul “Dua Lelaki Tua”.

Dari kelima cerita dalam buku ini, saya memilih cerita pertama dan terakhir menjadi favorit saya. Leo Tolstoy menyampaikan pesan-pesan moral yang dibungkus dengan sangat menarik namun sederhana. Leo Tolstoy dikenal sebagai sastrawan dunia asal Rusia yang banyak menyampaikan pemikiran-pemikiran moralitas dan sosial. Dua adi karya Leo Tolstoy yang sangat terkenal adalah War and Peace dan Anna Karenina. Saya suka dengan cover dari serambi ini, begitu pula dengan terjemahannya yang mengalir dan enak dibaca.

-------------------------------------------------------
Judul : Di Mana Ada Cinta Di Sana Tuhan Ada
Penulis : Leo Tolstoy
Penerbit : Serambi
Terbit : Februari 2011
Tebal : 197
ISBN : 978-979-024-240-1
-------------------------------------------------------

Wednesday, April 25, 2012

[Review] A Thousand Splendid Sun, "perempuan-perempuan perkasa dalam karya Khaled Hosseini"


A Thousand Splendid Suns mengisahkan dua wanita dari generasi yang berbeda, Mariam dan Laila. Bagian awal novel ini fokus menceritakan kehidupan Mariam. Ia hidup bersama ibunya, Nana, disebuah gubuk yang terletak jauh dari kota. Sang ayah, Jalil, tidak pernah menikahi ibunya karena status sosialnya. Mariam dan Nana hidup di gubuk kecil serba kekurangan, sedangkan Jalil hidup bersama tiga istrinya di Herat dalam rumah besarnya. Nana telah menceritakan semua kejahatan Jalil kepada Mariam, namun Mariam tetap memuja ayahnya yang biasa mengunjunginya setiap minggu. 

“Camkan ini sekarang, dan ingatlah terus anakku : Seperti jarum kompas yang selalu menunjuk ke utara, telunjuk laki-laki juga selalu teracung untuk menuduh perempuan. Selalu. Ingatlah ini, Mariam.” [hal 20]

Mariam selalu ingin mengunjungi rumah ayahnya di Herat dan ketika keinginannya memuncak, Ia rela mengabaikan larangan ibunya dan menempuh perjalanan ke Herat. Apa yang dijumpainya di Herat membuat Mariam memahami perkataan ibunya selama ini, namun nasi sudah menjadi bubur, ketika ia kembali ke gubuknya, Mariam hanya mendapati tubuh ibunya sudah tidak bernyawa.

Hati pria sangat berbeda dengan rahim ibu, Mariam.
Rahim tak akan berdarah ataupun melar karena harus menampungmu.
Hanya akulah yang kaumiliki di dunia ini, dan kalau aku mati, kau tak akan punya siapa-siapa lagi.
Tak akan ada siapa pun yang peduli padamu. Karena kau tidak berarti!

Mariam yang seorang diri dan ketakutan, oleh sang ayah justru dinikahkan dengan seorang duda tua dan dibawa ke Kabul, tempat dimana kehidupan yang sebenarnya menanti Mariam.

Sampai disini saya terus menanti sebuah peristiwa baik yang akan disisipkan sang penulis dalam kehidupan Mariam, namun lagi-lagi saya semakin takut melihat masa depan Mariam. Mariam memasuki rumah barunya di Kabul bersama suaminya, Rasheed. Membaca bagian ini, saya sangat ketakutan, saya takut membayangkan apa yang akan dilakukan Rasheed pada Mariam. Ketika memasuki malam hari, saya bergidik membayangkan Rasheed yang mulai mendekati Mariam. Poor Mariam. Ia tidak bisa menolak Rasheed dan Mariam pun hamil, namun justru saat itulah ia mulai merasa memiliki harapan. Di puncak ketakutan itu, penulis justru membawa saya berkenalan dengan gadis kedua. 

Berkenalan dengan Laila membuat saya sedikit mengendorkan otot-otot saya yang dari awal tegang membaca kisah Mariam. Laila memiliki sahabat laki-laki pincang bernama Tariq. Persahabatan Laila dan Tariq membuat saya sejak awal berharap mereka akan menjadi sepasang kekasih. Namun, penulis tidak memberikan cerita semanis itu. Lewat mata Laila dan Tariq, saya dibawa melihat peperangan yang melanda Afganistan. 

Suatu hari keluarga Tariq memutuskan untuk meninggalkan Kabul yang dirasa sudah tidak aman lagi. Menghadapi perpisahan itu membuat Laila dan Tariq menyadari perasaan mereka masing-masing. Lalu apa yang harus mereka lakukan? Sementara orang tua Laila pun berencana untuk mencari tempat yang baru. Apakah semua rencana itu berhasil? Bagaimana kehidupan Laila dan Tariq selanjutnya? Lalu apa sebenarnya tujuan Khaled Hosseini menceritakan Mariam dan Laila secara bergantian? Novel ini dibagi dalam tiga bagian. Bagian pertama fokus menceritakan Mariam, bagian kedua fokus menceritakan Laila, dan bagian ketiga menceritakan keduanya secara bergantian. Suatu saat kehidupan mereka pada akhirnya harus bersinggungan satu sama lain. Lalu apa hubungan mereka? 

Khaled Hosseini bercerita dengan latar belakang peperangan dan kekacauan yang sedang melanda Afganistan. Dimulai saat peperangan antara Afganistan dan soviet, lalu diteruskan dengan kepemimpinan Taliban yang justru membuat keadaan Kabul semakin kacau. Dari semua karakter, saya paling menyukai karakter Mariam. Dia sabar dan kuat menghadapi segala sesuatu yang menimpanya. Dan ketika sebuah ungkapan cinta diterimanya, ia bahkan berani mengambil tindakan yang luar biasa.

Novel ini mengandung informasi-informasi menarik yang baru saya ketahui setelah membacanya. Woman in Kabul. Wanita di Kabul tidak diijinkan untuk bekerja dan berkarir seperti laki-laki. Sebelum kepemimpinan Taliban, wanita telah menduduki tempat-tempat yang sejajar dengan pria. Banyak wanita menjadi dosen, guru bahkan pegawai negeri. Ayah Laila adalah salah satu tokoh yang terus mendesak anaknya agar mendapat pendidikan yang layak. Bahkan setelah jalanan semakin kacau, Ayah Laila memutuskan menjadi guru bagi anaknya, hanya agar Laila tidak kekurangan pendidikan. Wanita tidak boleh keluar rumah sendirian. Ia harus ditemani oleh suaminya dan harus menggunakn burqa. Selain itu Khaled Hosseini menggambarkan kehamilan sebagai sebuah harapan akan masa depan yang lebih baik. Mariam hamil dan berharap ia bisa hidup dengan lebih baik. Kehamilan Laila yang membuatnya berjuang untuk terus hidup. Wanita di Kabul hanya dianggap sebagai mesin penghasil anak, khususnya anak laki-laki, selain mesin penghasil anak, wanita bukanlah apa-apa.

Patung Buddha Bamiyan. Monumen patung Buddha yang terletak di lembah Bamiyan merupakan suatu tempat yang oleh Khaled Hosseini digambarkan sebagai tempat yang indah. Daerah yang terletak di jalur sutra yang menghubungkan wilayah india dan tiongkok dengan dunia barat ini berkembang menjadi pusat agama dan filsafat. Patung yang telah lama dipelihara dan dilestarikan ini, pada masa pemerintahan Taliban dihancurkan karena dianggap sebagai berhala.


People’s Pursuit of Love and Freedom. Setiap tokoh dalam novel ini berjuang untuk meraih kebebasan dan menemukan cinta. Mariam yang setelah sekian lama menderita, kesepian, sendirian dan tertekan, justru menjadi lebih berani ketika mengenal Laila. Mariam menjadi kuat karena ia mendapatkan cinta dari Laila yang dianggapnya seperti anak sendiri. Jalil berusaha melakukan setiap hal yang dapat menebus kesalahannya hanya untuk mendapatkan cinta Mariam kembali. 

 Khaled Hosseini lahir di Kabul, Afghanistan di tahun 1965. Ayahnya adalah seorang diplomat dengan Kementrian Luar Negeri Afghanistan. Ibunya mengajar bahasa Farsi dan Sejarah di sebuah sekolah menengah yang besar di Kabul. 
Hosseini adalah seorang Internist dan dia mulai menulis “The Kite Runner” di bulan Maret 2001, saat dia juga sedang praktek sebagai dokter. “The Kite Runner” telah diterbitkan dan menjadi bestseller di 38 negara. Novel keduanya “A Thousand Splendid Suns” diterbitkan di Amerika di Mei 2007 dan telah menjadi bestseller.

Special thing. Buku ini telah berada dalam wishlist saya kurang lebih satu tahun. Entah mengapa selama setahun, saya tidak terpikir untuk membelinya langsung ke toko buku. Jujur saya tidak yakin akan menyukai kisah yang dituturkan oleh Khaled Hosseini ini. Untuk perkenalan yang tertunda itu, kini, membuat saya justru bersyukur karena mendapatkan buku ini sebagai kado dari secret santa versi blog buku Indonesia. Pada bulan desember 2011, kami yang tergabung dalam blog buku Indonesia mengadakan suatu event tukar kado antar sesama member, saya mendapat kesempatan untuk memberikan kado kepada salah seorang teman yang berada di medan, namun saya tidak tahu siapa yang akan memberikan saya kado, that’s why sang pemberi kado populer dengan nama #SS(Secret Santa). Kegembiraan mulai terasa dalam group ketika masing-masing mulai menerima buntelan kado secret santa dan akhirnya pada awal januari buku ini mendatangi saya. Lalu apakah asumsi saya yang tidak akan menyukai kisah ini tetap ada setelah berkenalan dengan buku ini? NO. This book was a mirror of life, people’s pursuit of love and freedom.

Terimakasih untuk Mia Prasetya yang telah memulai perkenalan saya dengan A Thousand Splendid Sun.

---------------------------------------
Judul : A Thousand Splendid Suns
Penulis : Khaled Hosseini
Penerbit : Qanita
Terbit : Mei 2011 (Cetakan II)
Tebal : 512 hal
ISBN : 978-602-8579-52-0
---------------------------------------

Monday, April 23, 2012

[Review] A Single Shard, "bermimpi & berjuang ala Tree-ear"



Setiap manusia, siapapun dia, bagaimanapun keadaannya, seharusnya ia punya mimpi. Mengapa? Karena mimpi membuat setiap orang bangun di pagi hari dengan semangat baru. Demikian juga dengan Tree-ear seorang anak yatim piatu dari desa Ch’ulp’o. Sejak kecil Tree-ear tinggal di bawah jembatan bersama seorang lelaki cacat yang dia panggil Crane-man. Untuk makan, mereka biasanya mencari sisa-sisa makanan yang telah dibuang oleh warga sekitar. Meski demikian Tree-ear pun memiliki mimpi. Ia ingin menciptakan sebuah vas keramik.

Suatu hari Tree-ear mendekati rumah seorang pembuat keramik bernama Min. Ia memperhatikan barang-barang keramik hasil buatan Min. Tree-ear senang memperhatikan Min bekerja, namun Min tidak menyadari kehadirannya. Suatu hari Tree-ear mengendap-ngendap untuk melihat koleksi Min, Tree-ear tertarik dengan sebuah vas sehingga ia mengangkatnya. Kedatangan Min mengejutkan Tree-ear sehingga vas itu jatuh dan pecah. Pada awalnya Min memukulnya, namun ia langsung berhenti begitu mendengar penjelasan Tree-ear. Karena tidak bisa mengganti biaya keramik tersebut, Tree-ear mulai bekerja pada Min. Ia masih berharap bahwa suatu saat nanti, Min akan mengajarkannya cara membuat keramik. Namun berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, Tree-ear harus mengumpulkan kayu bakar, mengambil tanah liat, serta melakukan beberapa tugas di sekitar rumah Min. Pada awalnya, tangan Tree-ear nyaris tidak kuat, namun lama kelamaan, pekerjaan itu membuat tangannya menajadi lebih kuat. Awalnya ia tidak bisa mengangkat potongan tanah liat dengan benar, namun lama kelamaan ia semakin mahir, ia bahkan mulai belajar untuk membentuk tanah liat menjadi bentuk-bentuk sederhana tanpa harus menggunakan roda pemutar. Setiap hari Tree-ear berharap segera dapat duduk di depan roda pemutar tanah liat dan belajar cara membuat vas dari sang maestro, namun mimpinya seperti terhempas jatuh kembali ke bumi setelah mendengar penolakan Min terhadap mimpinya itu.
“Kau harus tahu anak yatim piatu, jika kau bisa belajar membuat keramik, pasti bukan aku yang mengajarimu”…..”Usaha seorang pengrajin diturunkan dari ayah kepada anak lelakinya…putraku, Hyung-gu sudah tiada sekarang. Dialah yang akan kuajar. Kau…kau bukan putraku” [hal 119]
Perkataan Min sempat membuat semangatnya kendor, namun Tree-ear tahu bagaimana harus mengani perasaannya sendiri dan melihat hal lain yang bisa dilakukannya, terutama karena istri min, Ajima (bibi), memperlakukannya dengan sangat baik. Tree-ear tetap bekerja pada Min, namun ia menyimpan harapan dan mimpinya di dalam hatinya.

Suatu hari Tree-ear diminta untuk mengantarkan dua buah keramik untuk seorang utusan kerajaan di Songdo. Untuk menuju Songdo Tree-ear harus menempuh perjalanan dengan berjalan kaki selama berhari-hari. Ajima telah membekalinya dengan makanan yang cukup, serta beberapa keping koin yang sewaktu-waktu bisa digunakannya. Perjalanan ini merupakan saat-saat penentu bagi Tree-ear. Awalnya dia tidak menemukan penghalang dalam perjalanannya, namun suatu kali ia menemukan kondisi yang sangat menyedihkan, ia tidak bisa mengelak dari nasib buruknya, dan harus melihat kedua vas keramik itu jatuh berkeping-keping. Tree-ear merasa gagal menjalankan tugas yang diberikan kepadanya.

Lalu apa jadinya nasib Tree-ear? Bagaimana ia mencari jalan keluar atas musibah yang menimpanya? Bagaimana ia harus menjelaskan peristiwa itu kepada Min? Apakah mimpi Tree-ear juga hancur berkeping-keping seperti kedua vas keramik itu?

Jika semua anak seperti yang digambarkan oleh penulis dalam novel ini memiliki mimpi, pekerjaan dan pengetahuan seperti Tree-ear, saya jadi merenung betapa luar biasanya Korea. Pengetahuan Tree-ear tidak bisa dibilang pas-pasan untuk anak seusia dia yang tidak pernah mengecap pendidikan formal. Novel ini juga memperlihatkan bahwa dalam setiap tahapan yang harus dilewati oleh manusia, ada hal-hal diluar harapan kita yang terkadang membuat mimpi kita buyar, namun seperti Tree-ear, seharusnya kita terus berfokus pada mimpi itu dan menjadi kuat dalam setiap tahapan yang kita lewati.

Karakter yang paling saya sukai tentu saja karakter Tree-ear yang pantang menyerah dan selalu memperhatikan dengan seksama. Ia selalu belajar dengan mengamati tanpa perlu bertanya lebih banyak. Namun perkembangannya tidak terlepas dari tuntunan Crane-man yang tidak hanya selalu membantu mengisi kekosongan perutnya namun juga mengisi pikirannya dengan berbagai macam ide menarik.

Novel yang mendapatkan Newbery Medal Award pada tahun 2002 ini menggunakan alur maju dan dituturkan oleh seorang narrator. Dan Ini adalah gambar cover yang paling kusukai.

 
--------------------------------------
Judul : A Single Shard
Penulis : Linda Sue Park
Penerbit : Atria
Terbit : Maret 2012
Tebal : 191 hal
ISBN : 978-979-024-491-7
--------------------------------------