Thursday, November 17, 2016

[Review] Station Eleven by Emily ST. John Mandel

Title: Station Eleven
Author: Emily ST. John Mandel
Publisher: Vintage
Published: June 2nd 2015
Page: 333p
ISBN: 0804172447 
Bought from Bali Books

First we only want to be seen, but once we’re seen, that’s not enough anymore. After that, we want to be remembered.


Coba lihat sekeliling, lihat orang-orang yang berjalan sambil terpaku pada telepon genggam mereka, lihat warna lampu jalan yang menerangi gelapnya malam, lihat secangkir kopi yang membangkitkan gairah dipagi hari dan sedikit mengusir rasa kantuk dikala siang, lihat kota-kota yang memuntahkan cahaya disaat adzan maghrib mulai berkumandang. Lihat semuanya itu dan bayangkan suatu saat, semua itu tidak ada lagi, hening melayang-layang diudara, lalu tinggalah manusia dan alam ini. Mungkin itu bisa menggambarkan sedikit rasa buku ini, buku yang lambat-lambat saya baca, sedikit suram tapi tetap menjaga tempo pembaca stabil dan terus maju karena penasaran dengan nasib setiap tokoh diakhir cerita.

Arthur Leander, dalam pementasan King Lear di Toronto, tiba-tiba jatuh dan meninggal diatas panggung. Seorang penonton dari deretan paling depan bernama Jeevan Chaudhary berlari ke panggung menawarkan pertolongan. Lalu saat itu penulis me-reset waktu dan peradaban, seakan-akan kematian Arthur menjadi akhir dan awal sebuah masa, karena malam itu juga Georgia Flu melanda Toronto dan dunia, melenyapkan peradaban, membuat mereka yang survive tidak lagi mengenal listrik, iphone menjadi pajangan di museum dan koran-koran menjadi sebuah kemewahan. Penulis menggambarkan dunia dari dua perspektif, sebelum dan setelah Georgia Flu, dengan perbedaan waktu 20 tahun, dimana orang-orang yang terhubung dengan Arthur Leander menjalani hidup mereka dan pada suatu titik saling terkait satu sama lain tanpa tahu peran mereka masing-masing.

Sebut saja Kirsten Raymonde, Clark Thompson, Miranda, The Prophet dan The Traveling Symphony yang diceritakan oleh penulis secara bergantian, dengan timeline yang maju mundur, bagaimana mereka bertahan hidup setelah Georgia Flu dan apa kaitan mereka dengan Arthur Leander sebelum wabah flu menyerang.  Bercerita dengan gaya maju mundur dan mengkombinasikan perspektif yang berbeda dari setiap tokoh menjadi daya tarik novel ini, penulis mengajak pembaca menyaksikan perbedaan masa yang berjarak 20 tahun. Tetapi buku ini bukan hanya tentang Georgia Flu, tetapi lebih cenderung memotret efek dari teror Georgia Flu untuk semua kehidupan manusia, terutama mereka yang survive dan kehilangan semua hal terbaik yang pernah mereka miliki didunia yang lama, bagaimana pikiran seseorang perlu dijaga supaya tetap waras, susahnya memelihara harapan bahwa kelangsungan hidup bisa diperjuangkan selama mereka berusaha dan bagaimana memori adalah hal yang sangat mudah berubah menjadi ilusi.

Judul Station Eleven sendiri diambil dari judul komik yang muncul sepanjang novel ini yang diciptakan oleh salah satu karakter disekeliling hidup Arthur Leander. Empat bintang untuk Station Eleven. Banyak hal sederhana yang kita take it for granted mungkin menjadi hal yang sangat kita rindukan disuatu masa yang berbeda, Station Eleven mendeskripsikan konsep itu dengan sangat baik.

Award untuk Station Eleven
Arthur C. Clarke Award for Best Novel (2015), PEN/Faulkner Award for Fiction Nominee (2015), Sunburst Award Nominee for Adult (2015), John W. Campbell Memorial Award Nominee for Best Novel (2015), British Fantasy Award Nominee for August Derleth Award (best horror novel) (2015), The Rooster - The Morning News Tournament of Books (2015), Toronto Book Award Nominee (2015), Women's Prize for Fiction Nominee for Longlist (2015), National Book Award Finalist for Fiction (2014), Goodreads Choice Award Nominee for Fiction (2014)

1 comment: